JAKARTA – Kemenristekdikti saat ini sedang fokus dalam pengembangan pendidikan vokasi di tanah air, termasuk didalamnya pendidikan guru vokasi. Berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tugas dari Kemenristekdikti itu ada dua, yaitu pertama, menghasilkan guru-guru untuk SMK produktif, dan yang kedua, membuka program studi untuk pendidikan guru vokasi.
Hal tersebut dikatakan oleh Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Patdono Suwignjo dalam pertemuan bersama rektor-rektor universitas negeri pendidikan tinggi guru vokasi yang dilaksanakan di Gedung Risktekdikti, Senayan, Jakarta, Selasa, 9/4, untuk membahas pendidikan vokasi ini termasuk rencana focus group discussion (FGD) yang akan diadakan di Dresden University of Technology (TU Dresden) Jerman dalam waktu dekat.
Dalam pertemuan ini hadir 12 rektor universitas negeri yang termasuk didalamnya perwakilan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti, Sekretaris Jenderal Ainun Na’im, Dirjen Belmawa Ismunandar, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Muhammad Dimyati, Staf Ahli Bidang Akademik Kemenristekdikti Paulina Pannen dan Direktur Pengembangan Kelembagaan PT Ridwan.
Ke 12 universitas negeri itu adalah Universitas Negeri Medan, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Makassar, Universitas Negeri Pendidikan Ganhesa, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Menado, dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Patdono menilai bahwa program pendidikan vokasi penting dan sangat strategis. Oleh karena itu, masing-masing Ditjen diharapkan bisa merumuskan program-program untuk mendukungnya program ini. Dirinya meminta agar dari Kemenristekdikti ada yang mengawal program ini. “Yang paling penting didalamnya ada di Ditjen Belmawa terkait kurikulumnya, untuk melihat bagaimana kurikulum pendidikan guru vokasi terutama guru SMK produktif,” ucap Patdono.
Patdono juga meminta untuk memikirkan secara matang sebelum menandatangani MoU, mulai dari aspek kerja sama hingga biayanya. Untuk itu Patdono mengusulkan ada leading sector di Dirjen Belmawa untuk kemudian dibuat program kerja. “Dibuat dulu program revitalisasi LPTK, setelah jadi nanti kita usulkan anggarannya. Jadi revitalisasi vokasi itu bersifat program, kemudian kita usulkan anggaran, dari anggaran yang selama ini sudah ada, kemudian diusulkan ke Bappenas,” katanya.
Senada dengan pernyataan Patdono itu, Sekretaris Jenderal Ainun Na’im mengatakan bahwa agenda ini masih perlu di re-arrange, dan juga ada pengawalan dari Kementerian terkait.
Terkait dengan rencana benchmark ke Jerman, disana diharapkan para rektor dapat mempelajari sistem pendidikan guru vokasi ini mulai dari konten, teknologi, e-learningmaupun sistem pembinaan dosennya. Bagaimana pendidikan guru vokasi dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaan online learning untuk pendidikan vokasi dan pendidikan online untuk menghasilkan guru vokasi.
Selain itu diharapkan para wakil dari pihak LPTK juga dapat bertemu dengan The German Rector’s Confrence untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif guna memperoleh rekomendasi ke perguruan tinggi Jerman mana yang relevan untuk diajak kerja sama.
Staf Ahli Bidang Akademik Paulina Pannen mengatakan “Saat ini tercatat sedikitnya ada 93.000 guru vokasi yang produktif. Rencana nya semua LPTK yang sudah bagus akan diberi mandat untuk menyelenggarakan pendidikan guru vokasi yang produktif, untuk itu mereka perlu tau guru vokasi yang produktif seperti apa, itu tujuan ke Dresden,” terangnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ada dua program besar yang terlibat di sini. Pertama revitalisasi vokasi dan kedua online learning. Diharapkan para guru vokasi yang jumlahnya mencapai 93.000 tersebut sebagian programnya nanti dengan system e-learning.
Sementara Bruri Triyono dari UNY mengatakan “dari The German Rector’s Confrence, LPTK bisa belajar bagaimana sistem research, karena di Jerman lebih banyak university of appliances dibandingkan universitas, satu banding dua. Kemudian kita bisa melihat research dasar dilaksanakan di kampus mana dan riset aplikasi di kampus mana,” katanya.
Bruri menambahkan bahwa “sistem pendidikan di Jerman di antaranya adalah interface, yang berarti antara apa yang dilakukan di kampus dengan industri saling terhubung. Proses pendidikan di Jerman tidak dibedakan antara ruang kelas dengan laboratorium. Sehingga ketika dosen mengajar, langsung dipraktekkan di kelas dan laboratorium tersebut.”
Reporter: Kahfi
Foto: Bagus
Redaksi: Sakasuti